Rabu, 06 Juli 2011

Lentera dari Medaeng

LEAK KOESTIYA

GELAP bisa menyergap siapa saja secara tiba-tiba. Gelap juga bisa disebabkan apa saja. Listrik padam, rembulan tertutup ilalang, atau bintang-bintang yang tibatiba menghilang karena terhalang mega. Tapi, gelap jenis begini adalah gelap dalam kategori biasa. Artinya, ketika di sebuah tempat atau ruangan sedang gelap, sebenarnya ada banyak hal yang masih bisa kita lakukan. Malah, bagi sebagian orang, gelap justru unsur teramat penting untuk membangun romantika. Tentu itu jenis gelap yang disengaja. Sebab, dalam gelap toh masih bisa saling raba...


Gelap yang sesungguh-sungguhnya adalah ketika mata dan hati kita seperti tidak melihat apa-apa. Tidak ada cahaya. Semua serasa serba pekat dan buntu, gulita di mana-mana. Dalam situasi sedang tidak bisa melihat apaapa itulah, secercah cahaya betul-betul kita butuhkan untuk menerangi mata dan hati kita.

Beberapa hari lalu saya seperti mendapat kiriman seberkas cahaya. Cahaya itu berwujud sebuah majalah sederhana yang saya dapati di meja kerja. Tak terlalu tebal, hanya 12 halaman. Lentera Medaeng nama majalah itu.

Dari namanya, terutama kita yang tinggal di Surabaya, pasti tahu bahwa majalah itu berhubungan erat dengan penjara dan narapidana. Sebab, Medaeng adalah nama yang kelewat sering kita sebut dan kita dengar. Medaeng memang penjara, hotel prodeo kelas satu di Surabaya. Meski tipis, Lentera Medaeng punya filosofi dalam: menerangi.

Sebenarnya, saya sempat tertegun, kok bisa para narapidana menerbitkan majalah seperti para mahasiswa menerbitkan pers kampus. Eh ternyata, setelah saya amat-amati, Lentera Medaeng digarap para narapidana intelek juga. Ada dokter, psikolog, sarjana hukum, insinyur, dan lainlain. Hanya, secara kebetulan mereka sedang menjadi narapidana dan dipenjara. Pendeknya, para narapidana yang menggarap Lentera Medaeng itu adalah para lulusan kampus tapi sekarang ngekos di Medaeng.

Diterbitkan LM Corp, para pengasuh majalah itu meminta para pembacanya memanggil dengan sebutan singkat: LM. Seperti Anda memanggil JP untuk Jawa Pos, Susilo Bambang Yudhoyono sebagai SBY, atau Maria Eva cukup dengan ME. Biar simpel. Begitu simpelnya majalah itu, tak satu pun artikel terlewatkan untuk saya baca. Editorial dari redaksi, surat pembaca, rubrik konsultasi, galeri foto-foto, semua menarik. Menarik bukan karena ketajaman ulasan atau kedalaman isinya, tapi kesederhanaannya. Mungkin, kesederhanaan adalah hal yang mulai susah kita dapati pada media umum yang setiap hari membanjir di kios-kios dan pinggir-pinggir jalan.

Bedanya majalah umum dengan LM misalnya, majalah umum hanya saya baca rubrik-rubriknya. Selebihnya, majalah umum tak lebih dari seonggok kertas yang segera melompat ke kotak sampah. Karena kenyataannya, belum sempat satu edisi dibaca, sudah keburu datang edisi berikutnya yang lebih baru. Majalah-majalah itu hanya kunikmati sampul-sampulnya, sebelum dibuang. Lentera Medaeng sungguh merangsang saya untuk membaca mulai halaman depan hingga terakhir.

Kalau di zaman Orde Baru kita mengenal istilah "pers yang terpenjara," kali ini kita mendapati pers bebas dari penjara. Ohoi..bantal atos dipan keropos. Betapa liris bait puisi-puisi itu. Betapa mengharukan keluh kesah di rubrik konsultasi. Kartun-kartun menampilkan kelucuan satiris tentang hidup yang lagi berantakan dan jeblok.

Para pembaca budiman, sebagai manusia, saya mengakui. Para pengelola, lay outer, ilustrator, kartunis, penulis puisi, maupun reporter Lentera Medaeng adalah saudara-saudara kita yang sesungguhnya. Sebagian di antara mereka malah para pendahulu saya di Jawa Pos. Bahwa sekarang mereka sedang butuh lentera, itu tak lebih karena pada satu waktu mereka pernah mengalami masamasa seperti tak ada cahaya. Betul-betul gulita. Lalu bertindak keliru.

Maka, kepada saudara-saudaraku: Kak Kresno Mulyadi di blok-E, Om Yedi, Pak Tio KP di blok A, Cak Ferdy di blok G, Om Tony di blok H, dr Willy Sabuana, Alung di blok F, Chris di blok A, Bambang Ilustrator di blok C-6, dan semuanya yang sekarang lagi mondok, tak usahlah terlalu berlama-lama mengurus majalah itu. Bukannya media yang beredar di luar tembok penjara itu takut tersaingi. Tapi ketahuilah, tempat terbaikmu sesungguhnya bukanlah ruangan berterali. Ketika hati telah kembali terang, keluargamu adalah tempatmu. Istri dan anak-anakmu adalah hamparan taman bunga dengan segenap embun dan keindahannya. Segeralah kembali pulang. Tinggalkan tempat itu. Biarlah Medaeng yang sumpek itu kosong tak berpenghuni. Ketahuilah saudaraku, di depan pintu keluar, kita semua senantiasa menunggumu. Menunggumu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar