Rabu, 06 Juli 2011

Komedi tentang Presiden

Kolom Leak Koestiya
Senyum atau tawa sebenarnya menyehatkan. Sepanjang, senyum atau tawa itu muncul dari humor yang dibuat tanpa tendensi untuk menyakiti. Di saat suasana lagi sumpek dan menegangkan, humor sebenarnya makin kita butuhkan. Tapi, dalam situasi seperti itu, humor juga harus dibuat dengan segenap kehati-hatian. Sebab disaat orang sedang sensi banyolan juga bisa memancing ketersinggungan dan bahkan kemarahan. Apakah benar ada jenis humor yang menyakiti itu?
Banyak. Malah tak sedikit humor yang sekarang beredar di pasaran dibuat tanpa mengindahkan rasa. Yang penting orang tertawa, selesai. Bahwa ada orang atau fihak yang terluka atau mungkin malah dihinakan, itu jarang jadi pertimbangan. Itulah kenapa ada ungkapan misalnya: senyum yang membuat luka, tawa di atas derita, dan seterusnya. Begitu banyak orang tertawa untuk sesuatu yang sangat tidak lucu.

Di wilayah yang baik kehidupan etik humornya, lelucon dibuat dengan pertimbangan njelimet. Di sini, di acara-acara lawakan televisi, kita sangat kenyang dengan umpatan-umpatan semisal: dasar wong ireng! (dasar kulitnya hitam), dasar pembantu!, gemuk kayak gajah, keriting sarang nyamuk, monyong bemo, dan seterusnya. Fisik dan status sosial seseorang menjadi bahan ketawaan. Tak pernah memang, kita mendengar somasi dari seorang pembantu rumah tangga karena kaum itu jadi bahan olok-olok di lawakan televisi. Tapi cobalah kita rasakan. Ekspresi senyum macam apa yang bisa keluar dari wajah kaum lemah itu ketika humor jenis begini mereka saksikan di depan mata. Di Amerika, mengucapkan "item lu.." bisa berurusan dengan pengadilan dan masuk bui.

Memang betul, lucu di sana belum tentu lucu di sini. Tapi humor yang baik mestinya berlaku umum. Artinya, ketika sebuah ungkapan dirasa menyakitkan di belahan bumi sana, sebenarnya juga menyakitkan di sini. Cobalah tanyakan saudara-saudara kita di Papua apakah ungkapan "item lu.." yang biasa kita jumpai di acara lawak televisi juga lucu buat mereka.

Sekarang, parameter etik humor kita seperti lagi hangat diperbincangkan. Agaknya, Menkominfo Sofyan Djalil kurang berkenan dengan acara berlabel Republik Mimpi di Metro TV. Di acara ini para pemimpin dari jaman Pak Harto sampai SBY dimunculkan dalam tokoh-tokoh look alike.

Kita pasti faham akan rasa tidak enak yang sekarang dirasakan Menkominfo. Bagaimana mungkin SBY yang notabene adalah tuan-nya itu dipresentasikan sebagai presiden dalam Republik Mimpi yang menjukkan kedunguan dan bahkan cenderung bego.

Si Butet Yogya, Jarwo Kuwat, Gus Pur dan lainnya adalah tokoh-tokoh Republik Mimpi yang nama-namanya merupakan plesetan dari SBY, JK, Gus Dur, Megawati, Habibie, dan juga Pak Harto. Jusuf Kalla konon telah memberi keterangan bahwa dirinya tak keberatan dengan acara komedi itu. Meski Ucup Kelik, waktu itu, membawakan diri persis Kalla. Tapi terhadap apa yang dikatakan Wapres RI ini saya lebih memilih untuk curiga: dalam hati Pak Kalla siapa tahu? Kabar terakhir, Gus Dur yang agaknya betul-betul tak terima dan akan menentang jika acara komedi itu ditutup.

Kita tentu belum lupa, di era kekuasaan Orba yang menghimpit dan sumpek dulu, kita masih bisa acap tersenyum karena mendapat siraman humor dari joke-joke Gus Dur yang sangat menghibur. Tapi kita juga jangan gampang lupa, karena begitu Gus Dur naik tahta menjadi presiden, humor tentang Gus Dur sontak berubah menjadi begitu sensitifnya. Miing dan kawan-kawan yang tergabung dalam grup lawak Bagito terpaksa harus meminta maaf kepada para pemirsa karena memerankan diri sebagai Gus Dur di televisi.

Soal humor, Gus Dur adalah fenomena. Kadang begitu politisnya, kadang begitu absurdnya. Tapi kalau dipikir-pikir sama lucunya. Hingga kita sering tak faham apakah Gus Dur sedang melawak atau sedang berdiplomasi politik.

Di masa Orde Baru, Gus Dur adalah satu-satunya orang di negeri ini yang berani mentertawakan kekuasaan Pak Harto dengan aman dan terbuka. Padahal orang lain harus berurusan dengan polisi lalu masuk Cipinang dan Nusakambangan jika melakukan hal yang sama.

Sebagai presiden yang humoris Gus Dur adalah kekecualian. Tapi melucu secara sehat dan beretika di saat yang tepat tetaplah tidak gampang. Maka meski Gus Dur berusaha lucu saat jadi presiden beliau tetap harus menerima kenyataan pahit: diberhentikan di tengah jalan. Sekarang, meski Republik Mimpi dianggap memancing tawa ia pun terancam tutup di tengah jalan karena ancaman somasi. Melucu yang tidak menyakitkan fihak lain seperti Thukul Arawana memang tak gampang. Haha..(leak@jawapos.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar