Rabu, 06 Juli 2011

Musim Coblosan Masih Jauh

Leak Koestiya

Kekuasaan bisa seperti air laut. Begitu banyak orang kecebur dan karena itu pula para penenggak kekuasaan cenderung kehausan lalu ingin nambah dan nambah lagi. Fenomena haus dan ingin terus nambah itu seperti kian menjadi-jadi. Sialnya, kita malah seperti tidak ambil pusing pada penyakit para pemilik jabatan yang sesungguhnya sangat merugikan itu.


Inilah situasi kita sekarang. Situasi di mana sebuah tindakan, keputusan, atau kebijakan selalu dipertimbangkan atas: apa untung ruginya bagi prospek jabatan saya mendatang.

Seorang yang menjabat sebagai wakil yang semestinya merasa wajib membantu atau setidaknya bekerja sama dengan atasannya justru terang-terangan menunjukkan sikap berbeda, kalau perlu malah berseberangan. Aksi mempertontonkan sikap "beda" seperti ini, meski di mata rakyat agak menyebalkan, tapi oleh para pemilik sikap tersebut selalu dijalankan dengan penuh kalkulasi. Lebih baik berseberangan tapi tambah populer ketimbang tidak terdengar suaranya sama sekali. Jadi, sikap sok beda juga bisa menjadi semacam investasi secara politis.

Hal-hal begini sebenarnya tak lebih dari sebuah trik untuk menelikung atau teknik menyalip di tikungan, atau apalah istilahnya, guna mencari perhatian. Tapi yang jelas, keterampilan para kandidat yang berancang-ancang berebut kursi atau berupaya memperpanjang durasi kekuasaan itu kian hari kian terasah saja.

Setiap waktu, kita seperti menyaksikan sebuah proses tiwikrama berkepanjangan, upaya meng-up grade kekuatan dan popularitas, seperti Kresna yang berusaha menjadi raksasa di Alun-Alun Astina. Celakanya, kebanyakan kandidat calon pemilik kursi itu adalah para pejabat yang berstatus pegawai negeri aktif yang setiap hari semestinya mengabdikan diri dan bekerja bagi masyarakat yang menggajinya.

Tentu bukan pejabat Indonesia kalau sampai gagal menyiasati cara. Maka, di mana-mana, kita bisa gampang menyaksikan cawan-cawan kekuasaan itu seperti hendak direguk lewat selubung cara yang sangat kreatif. Saya, misalnya, pernah kecele berat ketika pada satu malam Minggu mendatangi sebuah pertunjukan wayang kulit di lapangan terbuka.

Menyadari betapa tak gampang menyerap petuah -petuah kuno yang tersamar, saya melapangkan pikiran agar menjadi jendela pitutur luhur dari jagat pewayangan selama semalaman. Kiai Semar tampil paling dominan dalam pertunjukan malam itu. Bijaksana, sabar, netral, pamomong, dan tentu tidak mata duitan. Maklum, lakonnya memang Semar mBangun Kahyangan.

Yang bikin saya kecele, yang digambarkan sebagai Kiai Semar nan arif bijaksana tiada tara dalam pertunjukan semalam suntuk itu ternyata tidak lain dan tidak bukan adalah ki dalang sendiri. Hehehe... batobat soto babat campur kawat. Duh, jagat Dewa Bathara... Saya tertipu! Yang saya dengarkan semalam suntuk itu ternyata sebuah kampanye calon gubernur belaka!

Maka, terhadap lakon sejenis yang berpotensi ditunggangi laku politik seperti Semar mBeber Jati Diri, terus terang saya jadi trauma untuk menontonnya.

Biar tak diserang rasa kantuk, para penonton wayang biasanya ditemani kopi panas dan camilan kacang. Nah, terutama bagi yang sudah cukup umur, selalu ingatlah terhadap kerentanan badan serta pikiran. Selain berpotensi menyerang asam urat, camilan kacang juga bisa membuat nama seorang kandidat calon gubernur terus terngiang-ngiang. Nggih mboten, Pak De?

Terselubung memang. Tapi, praktik-praktik seperti itu tetaplah kampanye namanya. Sebuah kampanye yang dipraktikkan saat orang semestinya bekerja dan bekerja tentulah pelanggaran. Kampanye boleh, tapi bila waktunya telah tiba. Begitu kreatifnya sebuah selubung kampanye dibuat, lantas panitia pengawas pemilihan pun -baik pemilihan gubernur, bupati, lurah, wali kota, DPR maupun presiden- akhirnya tak bisa berbuat apa-apa.

Padahal, jelas-jelas para kandidat yang berstatus sebagai pegawai negeri aktif, bahkan presiden aktif itu, terus-menerus sibuk menebar pesona dan berpromo diri, hingga sering mengesampingkan pekerjaan semestinya. Bagi para pengejar kekuasaan, jabatan ternyata menjadi suatu kebutuhan yang dirasa begitu mendesak. Bagi mereka, lima tahun adalah waktu yang dianggap begitu pendeknya. Karena itu, yang ada hanya tujuan-tujuan jangka pendek: jabatan harus segera ada di tangan, kalau perlu secepatnya!

Sekarang kita bisa saja meremehkan program Repelita yang dulu digagas dan dijalankan Pak Harto. Karena pembangunan berjangka lima tahunan itu toh akhirnya kita simpulkan sebagai program akal-akalan yang hanya dipakai untuk melanggengkan kekuasaan Orde Baru. Tapi lepas dari prasangka seperti itu, Repelita adalah contoh baik bahwa dalam hidup bersama kita butuh garis rencana yang jelas sebagai panduan berusaha, mengejar, dan bekerja untuk jangka waktu kedepan.

Bahwa sebuah rencana ternyata bisa meleset atau gagal, itu lain soal. Itu masih lebih bisa dinalar ketimbang dari lima tahun ke lima tahun berikutnya tidak jelas kerjanya apa, dan maunya apa. Dari hari ke hari kerjanya kampanyeeeee... melulu. Sementara musim coblosan masih begitu jauhnya.(leak@jawapos.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar