Rabu, 06 Juli 2011

Johnny Ringo Jatinangor

Leak Koestiya

Perlu sebuah kekuatan untuk melihat tayangan di televisi dan membaca berita penyiksaan para praja IPDN di Jatinangor. Kita juga perlu kekuatan lain untuk bisa menerima kenyataan bahwa nyawa para praja yang melayang karena ditendang, disaduk, diinjak, dipukul, ditempeleng, dikepruk, dikeroyok, dan dihajar ramai-ramai telah begitu banyak jumlahnya.


Sejak 1993 saja, sedikitnya 17 praja telah dicabut nyawanya oleh para jagal Jatinangor yang notabene adalah kakak-kakak kelas dan pengasuh mereka. Praja-praja senior itu membunuh adik-adiknya sendiri dengan semangat hura-hura.

Mereka seperti burung-burung bangkai yang berpesta dengan tumit sepatu keras yang diayunkan ke ulu hati para junior dengan sekuat tenaga. Ketika praja-praja baru itu terhuyung kesakitan, diinjaklah tengkuk dan punggungnya, hingga organ-organ dalam tubuhnya remuk dan rintihan dari bibirnya yang membiru betul-betul tak bisa didengar.

Di IPDN Jatinangor, kebiadaban tersebut bisa dijalankan begitu sempurnanya atas dalih menempa kedisiplinan. Dengan alasan mendidik, Cliff Muntu, seorang pemuda yang datang dari Sulawesi Utara nan jauh, bisa dipulangkan dalam kotak peti mati dan tubuh telah terbujur kaku. Memar pada otaknya, dada, limfa, paru-paru, kemaluan, dan ginjalnya berdarah.

Entah rakyat Indonesia sebelah mana yang menginginkan seorang pamong praja yang kepalanya sekeras besi dan dadanya sekuat lempengan baja seperti yang dididik di Jatinangor. Begitu rapinya sistem penghilangan nyawa di sana, bahkan tim forensik dari Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, pun kesulitan mengungkap penyebab kematian. Sebab, setelah pesta penganiayaan itu, tubuh Cliff disuntik cairan formalin untuk mengaburkan penyebab kematian atas instruksi rektorat.

Tak perlu terlalu jauh ke Guantanamo jika hendak melihat sisi terkejam dari sebuah aksi penyiksaan. Di Jatinangor, Sumedang, mayat seorang praja bisa dikirim ke kampung halamannya, ke orang tuanya, dalam peti mati yang dipaku rapat dengan pesan: langsung dikubur saja karena mayatnya sudah bau busuk!

Entah rakyat Indonesia mana yang menginginkan seorang camat yang ulu hatinya tak mempan tonjok dan bebal oleh ketukan kata-kata. Begitu tangguhnya kah para lulusan dari Jatinangor itu hingga 10 praja yang terbukti membunuh Wahyu Hidayat pun tetap bebas dan bisa menjadi pegawai Pemda? Dan, mantan rektor IPDN I Nyoman Sumardi menyebut thriller di kampusnya itu sebagai ulah oknum semata.

IPDN adalah institusi pendidikan legal, berkurikulum, serta ternama. Ia bukan tempat tersembunyi dimana para penganut aliran sesat yang punya ritual nyeleneh untuk menyongsong hari akhir. Terlalu sederhana kalau lembaga pendidikan tersebut digambarkan sebagai seorang psikopat yang kebetulan terselip dalam komunitas masyarakat luas yang normal. Betapa sulit diterima oleh akal, ada sebuah sistem pendidikan yang di dalamnya memaklumi berbagai kelakuan keji dan pencabutan nyawa-nyawa anak didiknya.

Pada masa lalu, dalam kehidupan koboi yang barbar dan jauh dari pasal-pasal hukum, menghilangkan nyawa seorang musuh tanpa alasan yang jelas adalah kelakuan yang menjijikkan.

Di Jatinangor, pada zaman semaju ini, praja-praja baru bisa disuruh baris berjejer dengan tangan di belakang, lalu empedu dan limfanya dikoyak dengan cara dada serta lambung mereka ditendang berkali-kali. Tanpa boleh melawan. Sebab, kau, praja-praja baru, nanti boleh melakukan kekejian yang sama. Tapi, harus sabar. Sebab, praja-praja yang lugu itu bakal berubah menjadi bengis dengan sendirinya ketika saatnya tiba. Ketika mereka telah menjadi senior. Dan, kau bakal gantian menginjak, memukul, serta menendang juniormu!

Di IPDN Jatinangor, luka dan sakit hati bagai sebuah lingkaran rantai panjang yang terus beregenerasi. Maka, benar adanya jika keinginan menghilangkan kebiasaan bengis di lingkungan IPDN adalah tak lebih dari omong kosong belaka.

Dalam Unknown Destiny, novel karya Jason McCord, kebiasaan membunuh orang dengan tujuan yang tak jelas tersebut dijalani oleh seorang koboi sinting bernama Johnny Ringo. Terhadap orang yang tak bersalah dan bahkan telah sekarat pun, Ringo tetap tega menginjak tengkuknya untuk selanjutnya menarik pelatuk untuk mencabut nyawa. Wyatt Earp dan Doc Holliday adalah dua bersahabat yang berusaha menghentikan kelakuan biadab Ringo. Tapi, betapa sulitnya. Sebab, bagi Ringo, kebiasaan membunuh sudah dianggap semacam takdir.

Inu Kencana, dosen IPDN yang diskors pihak rektorat karena membeber kematian Wahyu Hidayat (1993) dan Cliff Muntu, mencatat ada 37 praja yang telah menemui ajal di Kampus IPDN dengan penyebab tak wajar. Inu juga mencatat, misalnya, pada Mei 1993, ada seorang praja bernama Aliyan terjatuh dari lantai atas saat menyiram bunga. Aliyan menderita gegar otak. Namun, saat berobat ke klinik, dia justru dipukuli pengasuhnya hingga meninggal karena dianggap cengeng.

Kebiadaban di IPDN Jatinangor bukanlah ulah seorang yang sakit jiwa seperti Johnny Ringo saja. Kebiadaban di kampus itu hidup subur lestari karena ideologi kekerasan dijalankan turun-temurun serta terstruktur hingga menjadi sebuah kultur. Menurut Doc Holliday, orang sinting seperti Ringo itu ibarat sebuah bejana yang tak penuh isinya. Ada semacam rongga di kepalanya yang tak pernah bisa penuh. Meski, telah sekian banyak orang binasa karena kebiadabannya. Kata orang Jawa: koplak ndase. Yang bisa menghentikan hanyalah ajal yang menjemputnya.

Sebanyak 37 praja telah diregang nyawanya di Jatinangor. IPDN adalah Johnny Ringo dalam bentuknya yang lain. Sekarang: ditutup, dibubarkan, atau biarkn saja para praja meneruskan hura-hura kekejiannya sebelum akhirnya menjadi camat, ajudan, atau abdi negara lainnya. Sejujurnya, rakyat sudah tak pernah bermimpi nenpunyai pemimpin yang bersih, tegas, disiplin, jujur, tidak korupsi, dan tidak doyan pungli seperti dalam teori-teori. Rakyat telah terbiasa digusur, dicurangi, hidup di tenda pengungsi, dan diintimidasi. Diracun seperti Munir pun, paling-paling cuma mati. (leak@jawapos.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar