Kamis, 23 Juni 2011

Mencari Cara untuk Turun

Kolom Leak Koestiya

Sejarah kita menyodorkan sketsa rumit bahwa proses untuk naik menjadi presiden dan turun dari takhta Istana Merdeka ternyata bisa menjadi dua hal yang sama-sama serunya. Para pemimpin di negeri ini sungguh selalu melewati cara yang sulit, malah kadang menyakitkan, ketika harus turun dari kursi yang didudukinya manakala datang akhir masa jabatannya.
MoreSumber rasa sakit itu sebenarnya datang dari satu sebab saja, yaitu cara turun yang tidak lazim. Cara yang wajar bukannya kita semua tidak tahu, tapi entah karena apa, para pemimpin itu selalu saja tergiur dengan cara-cara keliru yang dirancangnya sendiri. Kekeliruan mereka tentu bisa bertingkat-tingkat kelasnya. Dari yang sekadar tak puas jika hanya menjabat sekali, lalu ingin menjabat untuk yang kedua, sok merasa rakyat masih menghendaki lalu dengan segala cara ingin memperpanjang masa jabatannya, hingga tingkat yang paling rimba: kemauan untuk berkuasa selamanya. Akhirnya, proses turun yang mestinya menjadi laku alamiah dan biasa-biasa saja justru mengakibatkan
babak belur, luka-luka, dan rasa sakit belaka.

Hikmah dari cara turun yang kacau itu ialah segagah dan sebesar apa pun pemimpin kita, tak peduli berapa banyak bintang jasa yang dikumpulkannya, betapa memukau karisma kebapakannya, mereka ternyata selalu seperti para pendaki gunung yang gagah menaklukkan puncak, namun kebingungan ketika harus mencari jalan untuk kembali turun ketika waktunya tiba. Karena itu, yang akhirnya terjadi adalah bingung dan nervous yang amat sangat, juga suasana yang mendebarkan di mana-mana. Kronologi selanjutnya, suhu politik naik, ekonomi kacau, demo di mana-mana, pejabat tunggang langgang, adegan saling dorong, jatuh, dan akhirnya rasa sakit yang tak terhindarkan.

Pemimpin yang turun menapaki anak tangga satu demi satu dengan wajah tersenyum sambil dipegangi sebelah tangannya Ðseperti anjuran filsafat mikul dhuwurÐ adalah impian semua pemimpin kita. Pak Harto bahkan berkali-kali menyampaikan, bahwa mengisi masa pensiun sambil madheg pandita ratu adalah impian mewah terakhirnya. Tapi, tetangga dekat kita, Singapura- lah yang dengan baik mempraktikkannya. Lee Kwan Yew yang dua tahun lebih muda dibanding Pak Harto lengser keprabon pada 1990 setelah menjabat sejak 1965. Setelah kursi perdana menteri ditempati Goh Chok Tong, Lee didudukkan di kursi goyang sebagai menteri Kanan di jajaran kementerian Goh. Sekarang, setelah Goh Chok Tong pensiun dan jabatan perdana menteri ditempati Lee Hsien Loong, Goh pun didudukkan sebagai menteri kanan. Dan Lee, madheg pandhita ratu menjadi menteri Mentor. Dalam usianya yang telah sepuh namun pemikirannya tetap prima, ditunjuk sebagai menteri Kanan maupun menteri Mentor Singapura adalah sebuah ritual "memanusiakan" yang tidak hanya bermakna mikul dhuwur (menjunjung tinggi) tapi juga menghibur senior.

Dibandingkan Singapura, Indonesia punya jam terbang lebih tinggi soal gonta-ganti pemimpin. Telah enam kali kita punya pengalaman ganti presiden sejak republik ini berdiri. Tapi, mulai presiden pertama Soekarno, kemudian Soeharto, Habibie, Gus Dur, hingga Megawati, semua lengser dengan cara yang tidak happy.

"Inilah saatnya menutup satu babak dalam sejarah Singapura dan memulai babak baru," kata Goh Chok Tong dalam pidato serah terima jabatan kepada Lee Hsien Loong, perdana menteri yang sekarang. Ada kesan rapi ketika era lama berakhir dan era baru mengganti. Bedanya dengan kita, cobalah simak bagaimana Soekarno jatuh lalu digantikan Soeharto, dan Soeharto pun akhirnya diturunkan paksa. Habibie jatuh, lalu digantikan Gus Dur yang tak lama kemudian juga digusur. Sebagai presiden dengan bakat humor yang nyaris tiada tanding, proses turunnya Gus Dur dari kursi istana ternyata tak sedikit pun mampu memancing tawa kita seperti humor-humor Gus Dur biasanya. Kita semua ingat, pada saat-saat terakhir kejatuhan Gus Dur, televisi menyiarkan tayangan langsung dari istana yang sedang panas dan Gus Dur Ðyang selama rezim Ode Baru selalu mampu menghibur kita semuaÐ dituntun ke sana-kemari hanya dengan celana kolor.

Kita tak tahu secara detail bagaimana Soekarno turun dari kursi kepresidenan kala itu karena belum datang era televisi yang bisa menyiarkan secara langsung detik-detik presiden dijatuhkan. Tapi, dari berbagai referensi dan cerita mulut berbagai versi, presiden pertama kita, agaknya, memang jatuh tersungkur secara menyedihkan. Soekarno tak sekadar terpeleset dari anak tangga kekuasaannya yang tinggi, tapi ada semacam proses mendorong yang begitu kasarnya.

SBY baru akan mengakhiri masa jabatannya pada 2009. Namun, proses saling dorong antara kubu Mega dan SBY, tampaknya, telah dimulai sejak sekarang, sekadar untuk menegaskan bahwa "duel" memang belum berakhir. "Pemerintahan saat ini, saya lihat seperti penari poco-poco. Maju satu langkah, mundur satu langkah. Maju dua langkah, mundur dua langkah. Kadang malah hanya jalan di tempat," kata Megawati dalam pidato politik Ulang Tahun Ke-35 PDIP di GOR Sriwijaya Palembang (31/1).

Sindiran itu langsung dibalas kubu SBY. "Kalau kebijakan SBY tentang pemberantasan kemiskinan ibarat penari poco-poco, Megawati ibarat penari undur-undur. Tidak pernah maju, tetapi mundur terus," kata ketua Fraksi Partai Demokrat DPR.


Saat Pak Harto dimakamkan di Astana Giribangun, pikiran saya surut jauh ke belakang, teringat saat jenazah Presiden AS ke-40 Ronald Reagan disemayamkan di Capitol Hill. Bush senior, George W. Bush dan Laura serta Clinton dan Hillary tertunduk bersama di depan peti mati.

Di antara ribuan pelayat di Astana Giribangun yang hendak memberi penghormatan terakhir untuk Pak Harto saat hendak dikubur pekan kemarin itu, kita tak melihat satu pun mantan presiden hadir di sana. Habibie sedang menjadi pembicara seminar di Amerika, Gus Dur sedang gerah serius, Mega sedang periksa kesehatan di Singapura. Benar atau tidak alasan mereka, agaknya para mantan presiden kita memang sedang sibuk dengan sakitnya. Luka-luka karena proses kejatuhannya dulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar