Kamis, 23 Juni 2011

Pesta Imlek

Oleh: Leak Koestiya

Saya penggemar berat Jackie Chan dan Kho Ping Hoo. Di layar lebar, Jackie Chan adalah pendekar cerdik yang kedua kaki dan tangannya bisa bergerak menyerupai kipas angin dan kelenturan tubuhnya seolah tanpa tulang belakang. Elastis seperti permen karet, lincah, lucu, serta tak pernah kehabisan gerak karena kelelahan.

More

Sementara Kho Ping Hoo, dia adalah penulis cerita silat yang mampu melambungkan imajinasi saya, bahkan hingga jauh ke tepian Sungai Huang Ho. Meski jasad Asmaraman S. Kho Ping Hoo telah lama dikuburkan di Solo, Jawa Tengah, semua tokoh yang dia fantasikan dalam cerita silatnya sungguh tak pernah mati dalam ingatan saya.

Dan terus terang saja, dari kedua orang itulah sebenarnya saya mulai mengenali etnis China. Jadi, keakraban dalam hati yang saya miliki sesungguhnya berawal dari Kho Ping Hoo dan Jackie Chan. Saya benar-benar sangat terlambat, misalnya, sekadar memahami bahwa menyebut China ternyata juga berpotensi menciptakan ketidakenakan di tingkat perasaan, karena kenyataan sejarah politik kita yang buruk pada masa lalu. Saya juga kurang paham bahwa Tiongkok adalah panggilan yang lebih halus ketimbang China, dan seterusnya.

Seperti yang selalu disuguhkan Jackie Chan dalam film-film kungfunya maupun Kho Ping Hoo lewat tokoh-tokoh dalam cerita silatnya seperti Lu Kwan Cu, Kam Bu Song, Suma Han, Kao Kok Cu, maupun Wan Tek Hoat dan lain-lainnya, pelajaran yang selalu bisa kita petik adalah: baik buruk kelakuan seseorang tak pernah ditentukan warna kulitnya.

Jackie Chan dan Kho Ping Hoo memberikan kegembiraan yang luar biasa kepada saya lewat film-film dan cerita silatnya. Lihatlah Jackie Chan dalam The Drunken Master yang kesohor itu. Ketika dia sedang mabuk berat pun -sambil teler dan sempoyongan-, bintang kungfu bermata sipit itu tetap bisa menendang dengan jitu, meski ngawur, dan memukul dengan sangat akurat dengan jurus mabok beratnya.

Dari keduanya, saya juga mendapat pelajaran bahwa niat baik ternyata selalu berpapasan dengan niat buruk. Dan untuk bisa menang melawan yang buruk, selalu dibutuhkan kegigihan.

Sekarang, Imlek bisa kita rayakan dengan tanpa rasa canggung lagi. Tak seperti ketika masih dalam tekanan, mal-mal, restoran, food court, dan perkantotan kini penuh oleh lampion dan nuansa merah. Saya makan bersama anak-istri di antara keluarga-keluarga yang mengenakan baju ji bao merah meriah. Terasa benar betapa kebebasan merayakan seperti ini sungguh sesuatu yang lama dirindukan. Lepas dari kekangan secara politis dan merdeka dari perlakuan buruk sejarah masa lalu.

Bagi saya, Imlek kali ini juga membuat tawa gembira, meski tanpa sengaja. Saya diajak menemani Pak Dahlan, bos saya, untuk datang di pesta perayaan Imlek yang diselenggarakan Konjen Tiongkok Surabaya. Soal apa yang bakal terjadi pada tahun tikus nanti, kita telah mendapatkan banyak ramalan dari paranormal.

Kata Mama Lauren, Indonesia masih akan diguncang berbagai bencana. Beberapa gunung berapi bakal meletus, terutama yang berada di garis cincin api (ring of fire). Banjir, tanah longsor, serta badai masih akan terus meneror. Beberapa pulau digenangi air laut dan nyaris tenggelam. Para petani bahkan banyak yang akan mengalami gagal panen karena serangan hama tikus.

Maka itu, tak usah bicarakan lagi kelakuan tahun tikus tanah di sini. Saya akan cerita tentang kegembiraan pesta dan kemelut yang menimpa saya saja. Pak Dahlan, ketua umum Persatuan Seni dan Olahraga Barongsai Indonesia, memang biasa ngajak orang di redaksi untuk menemani dirinya datang ke sebuah acara. Yang diajak juga asal saja, siapa yang ada dan siapa yang mau. Karena kali ini yang hendak didatangi adalah sebuah pesta, saya pikir-pikir. Sebab, saya cuma pakai kaus oblong dan sepatu kets belel. Pikir saya, ngapain saya ke pesta kalau gagal untuk gembira?

"Coba cari baju, deh..."

"Oke Bos..."

Saya lalu mengaduk-aduk semua laci meja saya untuk mencari baju. Eh, ketemunya sarung! Sialan. Pengamatan kemudian tertuju pada baju yang dikenakan teman-teman. Ada beberapa yang saya rasa ukurannya pas dengan badan saya yang tipis, tapi tak cocok dengan warnanya. Ada beberapa lagi yang menurut saya cukup sopan untuk pesta, tapi pasti kegedean bila saya kenakan.

Kurang ajar, saya telah menerapkan berbagai persyaratan. Ini pasti akibat terlalu sering nonton Supermama Seleb Show dan termakan ulasan Madame Ivan Gunawan. Jangan gila doooong!

Persoalan baju akhirnya teratasi setelah teman dari DetEksi (halaman anak muda Jawa Pos) menyodorkan jas hitam yang terbungkus rapi. Kini tinggal persoalan sepatu yang saya anggap tak terlalu mengganggu. Karena nasib baik, di depan lift, seorang teman meminjamkan sepatunya yang dianggap cocok dengan jas yang saya pakai.

Kekacauan pertama berlalu, ketegangan berikutnya menyambut. Saya harus mengendarai Mercedes-Benz seri S 500 dari kantor ke Shangri-La. Saya dan teman-teman di redaksi sebenernya punya kebiasaan nyobain mobil barunya Bos. Tapi, kali ini saya seperti kena batunya. Mobil itu harganya lebih dari Rp 3 miliar. Begitu kontak saya genggam, pikiran langsung merujuk pada harganya! Bayangkan kalau di jalan ditabrak angkot. Rumah saya, mobil saya, sawah saya di kampung, sapi, kambing, ayam, beserta kandangnya, semua dijual, tetap nggak cukup untuk mengganti. Hahaa… katrok bo!

Mesin mobil belum saya nyalakan pun pikiran telah melayang ke sepanjang jalan yang hendak saya lewati. Becak-becak dan angkutan yang biasa berseliweran di sepanjang Wonokromo dan Joyoboyo sungguh seperti merampas mood pesta saya. Dengan perasaan kacau, AC dingin tapi badan terasa gerah, audio bersuara jernih tapi kuping kayak budek, mau nyalain lampu sein, eh malah keluar air mancur, tapi nyampe juga di Shangri-La.

Kalau di rubrik ini saya pernah menulis tentang pengalaman membahagiakan ketika mengendarai mobil pertama, Jimny Kotrik, inilah kesamaannya: basah kuyup keringatan!

Saya datang agak terlambat. Ballroom telah dipenuhi hadirin, lilin-lilin menyala di setiap meja. Ternyata, saya memakai jas, sementara undangan lain berbaju batik sesuai dress code-nya. Di ruang yang luas itu, saya seperti gabah yang terselip di antara hamparan beras. Kepala terasa cenut-cenut dan mata berkunang-kunang. Tapi, saya musti patuh dengan hukum pesta: toast, makan-makan, bergembira, dan tetap optimistis menyambut tahun tikus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar