Kamis, 23 Juni 2011

Mari Bicara Cinta

Oleh: Leak Koestiya

Rumahku hanya kecil saja, tapi begitu hebat dalam merangsang fantasiku. Tak terhitung berapa banyak khayalan tentang keindahan kubayangkan hadir di dalamnya. Dari berbagai imajinasi itu, yang paling sering menggoda adalah sebuah taman bunga. Meski sadar bahwa keinginan tersebut muskil adanya karena sisa tanah memang tak ada, tapi apa boleh buat?

More

Rumah mewah dengan pekarangan nan luas menghampar, toh tetap tetangga yang punya. Maka, dari tempat berteduhku yang mungil itu, berbagai keinginan menyangkut harmoni, keasrian, kenyamanan, dan hasrat artistik akhirnya seperti kutumpuk begitu rupa.

Aku sadar betul, betapa terbatasnya lahan yang kumiliki. Tapi, jauh sebelum fondasi rumah mulai dibangun, aku sebenarnya telah lebih dulu sibuk membayangkan di mana kira-kira bermacam bunga kesayanganku akan kutanam ketika rumah kutempati nanti.

Akhirnya, dengan sangat terpaksa, kusisakan sebagian tanah di bagian belakang rumah untuk tetap kubiarkan terbuka. Biar sinar masuk, ada rintik gerimis, angin segar, dan aku bisa menanam bunga.

Aku mencintai bunga dalam arti yang sesungguh-sungguhnya. Bukan bunga nama samaran, atau mencintainya dengan sejenis cinta musiman. Gampang pudar dan gampang kulupakan. Meski berkali-kali kecewa karena acap bertemu kepalsuan dan dikhianati para pejual bunga, aku tak kehilangan asa. Bunga-bunga tetap kurawat dan terus kusirami.

Ketika sedang berlibur ke daerah pegunungan yang sejuk, pasti kusediakan sesi khusus untuk mencari bunga. Dan aku pasti terpesona pada anggrek-anggrek yang tangkainya dikerubuti kelopak segar yang sedang mekar. Sangat kontras dengan penjualnya, ibu-ibu tua yang raut wajahnya dipenuhi keriput. Si ibu memancing rasa kasihan, sementara anggrek itu tampak begitu cantik dan memikatnya.

Tapi, apa yang terjadi setelah anggrek kubeli dan kubawa pulang ke rumah? Sehari berada di taman rumahku, anggrek menjadi layu. Daun-daunnya melorot tak bertenaga, batangnya lunglai seperti kehilangan gairah hidup. Karena perbedaan suhu? Mungkin. Tapi, mestinya anggrek tidaklah secengeng itu. Lalu, kenapa ia layu seperti pasien gawat darurat yang dicabut selang infusnya?

Karena penasaran, anggrek itu kucabik-cabik hingga ke pangkalnya. Astaga! Tahulah aku sekarang mengapa anggrek tersebut tak sanggup hidup di taman rumahku. Ia ternyata cuma bunga palsu. Umur kecantikannya hanya beberapa saat saja. Ia hanya setangkai anggrek yang dipotong, lalu di pangkalnya ditaruh segumpal tanah, kemudian dibungkus dengan pelepah pisang, terus diikat tali. Sejatinya, ia tak punya akar untuk menghidupi dirinya.

Oh, ibu tua yang mengharukanku. Engkau telah tega mengkhianatiku...

Di pasar bunga dadakan, aku menemukan aglaonema yang daunnya kecil-kecil, lain dari biasanya. Terlihat lucu dan agak aneh. Namun, setelah beberapa lama bunga itu kupelihara di rumah, daun baru pun tumbuh. Yang mengherankan, daun barunya tidak lagi kecil-kecil, tapi gede seperti daun aglaonema umumnya.

Usut-punya usut, aku ternyata terperangkap siasat buruk penjual bunga. Daun aglaonema itu diperkecil dulu dengan cara diguntingi satu per satu sebelum dijual. Ampun, deh...

Tertipu akar palsu, daun palsu, bunga palsu pun pernah. Barangkali memang begitulah risiko jatuh cinta. Tak selamanya ketulusan bakal berbalas kejujuran. Suatu kali, juga di daerah wisata, aku bertemu bunga lily yang dalam satu tangkainya mekar dua warna bunga. "Lily dwiwarna," kata penjualnya.

Bunga lily kubeli tanpa kutawar, karena menurutku memang sudah murah harganya. Karena begitu indahnya, ketika dalam perjalanan pulang menuju rumah, bunga itu tak henti-hentinya aku pandangi. Betapa kagetnya setelah bunga yang sedang mekar itu coba kutarik dari tangkainya. Ia ternyata cuma bunga tempelan yang ditancapkan dengan tusuk gigi ke batang lily...

Sebulan lalu, aku kecewa berat dengan bunga Desember. Bunga yang daunnya menyerupai miniatur daun pisang tersebut kubeli kira-kira sepuluh bulan lalu dengan harga Rp 20 ribu dari penjual bunga langgananku. Menurut penjualnya, kalau sedang berbunga, bunga Desember akan memunculkan mekar seperti kembang api. Tapi, itu hanya setahun sekali, yaitu pada bulan Desember.

Bulan demi bulan berlalu dengan penantian, hingga tibalah bulan Desember yang kutunggu-tungu. Tapi, sampai habis bulan Desember, bunga itu tak kunjung mengeluarkan bunga. Karena kesal, penjual bunga kulabrak. Tapi, apa kata penjual bunga tersebut, "sabar Pak, cobalah tunggu bulan Desember mendatang."

Ohoi, betapa berat ujian kesabaran akan cintaku padamu hai bunga...

Memang, cuma kecil saja taman bungaku. Tapi, aku begitu betah berlama-lama bila sedang di tengahnya. Saat sepi, kupandangi sisi-sisi dinding tembok yang kutempeli aneka jenis bunga gantung. Ada sirih-sirihan, bunga happy, simbar menjangan, bunga tetes air mata, kerokot hijau, anggrek bulan, dan lain-lain. Kini, seluruh dinding tembok pojok belakang rumahku penuh oleh juntai aneka bunga. Aku menjadi tidak begitu hirau bahwa rumahku sebenarnya hanya mungil dan tamanku sempit adanya.

Mengangankan yang serbamewah, megah, luas, besar, tentu tidak dilarang. Tapi, hati-hatilah, salah-salah bisa seperti para pejabat Bank Indonesia yang kini menjadi para tersangka itu. Kaya raya, rumah gede, duit banyak, tapi harus tinggal dalam ruang tahanan berjeruji yang sempit dan pengap. Tanpa taman bunga lagi! Betapa penting mencintai hal-hal kecil yang telah kita miliki. (leak@jawapos.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar