Kamis, 20 Oktober 2011

MATIKAN TV-MU: AGAMA VS MEDIA

MATIKAN TV-MU: AGAMA VS MEDIA?
Ratna Noviani, Dosen KBM UGM.

Keluhan akan buruknya dampak tayangan media, belakangan ini makin marak dibicarakan. Media, terutama televisi, menjadi tertuduh utama ketika tindak kekerasan, kejahatan seksual maupun gaya hidup konsumtif semakin menunjukkan skala statistik yang tinggi. Kekhawatiran akan dampak buruk media memang bukan tanpa alasan. Proliferasi media audio visual, mulai dari televisi, film hingga video game, membuat hidup kita seolah tidak bisa dipisahkan dari gemerlapnya citra-citra media. Media menjadi ubiquitous, ada dimana-mana, dan kehadirannya sulit untuk dihindari atau ditolak. Ia telah menjadi bagian tak terpisahkan dari tekstur dan rutinitas kehidupan sehari-hari kita. Televisi khususnya, menyediakan sumber daya simbolik yang memberi kita referensi-referensi untuk bersikap dan bertingkah laku. Tak heran jika media massa dianggap telah menggeser fungsi institusi sosial tradisional seperti keluarga, gereja, sekolah atau pun pesantren. Media diyakini telah menggeser tugas guru, agamawan maupun orang tua sebagai educato, menyediakan role-model bagi anak-anak dan remaja, dan menjadi sumber acuan untuk mendefinisikan mana yang baik dan mana yang buruk.

Dalam hal ini, media telah menjadi semacam contemporary civil religion (Robert N. Bellah, 1967) atau agama sipil kontemporer, yang melibatkan bentuk-bentuk pemujaan baru lewat ritual-ritual menonton dan mengkonsumsi media. Persoalannya, bukan rahasia lagi bahwa realitas yang dibawa oleh media adalah realitas yang berselimut kepentingan kapitalis industrial yang tidak lain berujung pada akumulasi profit semata. Budaya media, dalam hal ini, bekerja secara hegemonik dan ideologis untuk mendukung kepentingan para pemilik media. Prinsip yang penting laku dan mendatangkan untung, menjadikan tayangan media tak lebih dari bujuk rayu kosong yang dikemas dengan citra-citra yang penuh warna. Media makin asyik mengejar kepentingan ekonominya dan cenderung mengesampingkan tanggung jawab sosialnya untuk mendidik dan mencerahkan masyarakat.

Menjamurnya bisnis media di Indonesia, termasuk televisi, pasca jatuhnya rejim Orde Baru, ternyata tidak berkorelasi positif dengan beragamnya tayangan yang bisa dipilih dan dinikmati oleh masyarakat. Sebaliknya, hampir semua stasiun televisi menayangkan program dengan format dan muatan yang sama. Sebut saja infotainment yang sarat dengan gosip dan jadi ruang pamer bagi para selebritis, acara berbau mistik lengkap dengan citra-citra hantu dan setan, serta gemerlapnya sinetron percintaan remaja yang cenderung menjual mimpi. Kecenderungan untuk latah meniru program acara yang konon terbukti menarik perhatian penonton menjadi jurus jitu bagi stasiun televisi untuk meraih keuntungan secara instant. Akibatnya, kreativitas dan kualitas tayangan bukan lagi prioritas utama. Rating, parameter disukai atau tidaknya sebuah tayangan—yang sistem dan akurasinya nota bene perlu dipertanyakan—menjadi alasan ampuh untuk mempertahankan kontinuitas sebuah tayangan, bahkan yang tidak mendidik sekalipun. Kepentingan masyarakat pada akhirnya harus tunduk dan menjadi subordinat dari kepentingan korporasi media. Situasi ini sebetulnya bisa berubah jika negara mampu melakukan intervensi dan menjalankan fungsi moderasinya pada pasar media. Sayangnya, berkelindannya kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik dalam industri media serta fenomena tawar menawar politik membuat pemerintah tidak mampu menerapkan regulasi yang tegas dan cenderung ambigu untuk menertibkan carut marutnya realitas pertelevisian kita, baik dari sisi industri maupun isi media.

Produk perundang-undangan yang sudah ada seperti UU Penyiaran/2002 maupun kehadiran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) seolah tak kuasa dan tak punya gigi untuk menghadapi rejim televisi. Ambiguitas pemerintah untuk mengintervensi dan menertibkan pasar media pada akhirnya berdampak pada menjamurnya tayangan-tayangan televisi yang disinyalir oleh banyak pihak sebagai pemicu rusaknya moral masyarakat.

On/Off Switch

Terkait dengan wacana dekadensi moral dan rusaknya kehidupan sosial, tuduhan bahwa televisi berperan besar makin sering bermunculan. Maraknya kekerasan dan perkelahian di kalangan anak-anak sekolah, tayangan televisi seperti Smack- Down misalnya disebut-sebut sebagai pemicunya. Goyang ngebor Inul di televisi dianggap menstimulasi orang (baca: laki- laki) untuk melakukan kejahatan dan pelecehan seksual. Tayangan mistik bertema hantu dan alam gaib membuat orang makin tidak rasional dan mengarah pada perbuatan syirik. Banyak pihak menuding televisi sebagai biang keladinya, tak terkecuali para pemuka agama. Televisi dianggap menyebarluaskan pesan-pesan negatif yang tidak sesuai atau kontradiktif dengan nilai-nilai kebaikan yang diajarkan oleh agama.

Tudingan bahwa dekadensi moral masyarakat adalah dosa media menyiratkan ketakutan akan kekuatan media dalam mengikis nilai-nilai moral dan spiritualitas masyarakat. Hal ini tersirat misalnya dalam gerakan moral Aisyiyah dan Muhammadiyah dengan jargon “Matikan TV- mu”, sebagai bentuk protes pada tayangan televisi yang bisa merusak akidah. Ada polarisasi di sana, dimana media diposisikan sebagai rival dari institusi-institusi sosial tradisional — termasuk agama— dan melemahkan pengaruh dari para pemimpinnya. Asumsi ini seolah makin menegaskan adanya posisi vis a vis antara media dan agama yang sering dikaitkan dengan polarisasi biner sekuler/amoral (media) versus sakral/moral (agama). Ada kecenderungan untuk melimpahkan tanggung-jawab akan dekadensi moral pada tayangan media semata, dan mengaburkan fungsi serta peran dari institusi sosial lain seperti agama, pendidikan maupun keluarga. Tidakkah persoalan dekadensi moral masyarakat juga sebuah indikasi kegagalan institusi sosial lain seperti agama, pendidikan dan keluarga dalam menjalankan peran dan fungsinya?

Memilih untuk mengajak masyarakat mematikan televisi, justru terkesan melebih-lebihkan efek media dan sekaligus menempatkan media sebagai entitas yang sama sekali terpisah dari budaya dan institusi sosial lain yang ada dalam masyarakat. Mary Ann Watson (2004) dalam esainya “Ethics in Entertainment TV” mengkritik pihak-pihak yang mendukung “The Myth of the On/Off Switch”. Ia menekankan bahwa pilihan mematikan televisi, sama halnya dengan memilih untuk berhenti bernapas di tempat yang udaranya sudah tercemar. Upaya ini cenderung emosional dan tidak akan efektif mengingat di era globalisasi dan komersialisasi serta berkembangnya teknologi komunikasi, televisi bukan lagi satu-satunya media yang bisa diakses dan dikonsumsi publik. Media bersinergi satu sama lain dan menerpa kita dari berbagai penjuru, mulai dari televisi, internet, film hingga media-media personal seperti handphone. Mematikan televisi tidak akan berpengaruh apa-apa jika pilihan untuk mengakses media lain terbuka lebar. Jika semua media bisa membawa dampak buruk, akankah kita mematikan semua media sebagai alternatif agar selamat dari dampak buruk media?

Lebih dari itu, menuding media sebagai pemicu utama persoalan dekadensi moral cenderung melupakan fakta bahwa media bukanlah entitas yang sama sekali terpisah dan terisolasi dari institusi lain dalam sistem sosial masyarakat. Perlu diingat bahwa media televisi juga berfungsi sebagai cermin budaya atau cultural forum (Newcomb/Hirsch, 1994), dimana relasi-relasi budaya dalam masyarat diartikulasikan, ditayangkan, diperdebatkan dan dinegosiasikan. Televisi memang berperan aktif dalam mengkonstruksi budaya dan realitas, menjadikan hidup lebih hidup, membuat yang tidak mungkin menjadi mungkin, membuat impian di dunia nyata menjadi kenyataan di dunia televisi. Namun, televisi juga menjadi situs dimana nilai-nilai dominan dan kepentingan-kepentingan sosial politik dinegosiasikan dan diartikulasikan. Artinya, apa yang dibawa oleh televise tidak sepenuhnya ahistoris dan tanpa dasar. Sebaliknya, tayangan televisi juga bisa dilihat sebagai produk negosiasi dari relasi-relasi kekuasaan yang ada di masyarakat.

Dengan kata lain, media itu sebetulnya shaper dan sekaligus product of culture, yang dalam prosesnya selalu melibatkan interaksi dan relasi-relasi kuasa dari beragam kepentingan dalam masyarakat. Contoh yang paling nyata, wajah dan posisi perempuan di layar kaca, bukan semata-mata hasil rekayasa murni media, tapi lebih merupakan artikulasi dan reproduksi sikap dan kepentingan sistem patriarkhi yang lebih luas. Sinetron-sinetron yang mengangkat tema-tema religius seperti Rahasia Illahi, Takdir Illahi, Hidayah dan tayangan sejenis lainnya juga cenderung menegaskan sikap-sikap dominatif pada perempuan. Citra perempuan hanya digunakan untuk mengeraskan dan meneguhkan pemahaman kelompok tertentu bahwa kesalehan perempuan dalam Islam dibuktikan lewat kepatuhan dan ketertundukan totalnya pada laki-laki. Meski teraniaya, perempuan yang saleh harus tetap tunduk dan menurut pada suami.

Sayangnya, kehadiran agamawan yang kadang dimunculkan di akhir cerita sinetron tidak mengajak penonton untuk membaca dan memahami sinetron religius secara cerdas. Sebaliknya, para agamawan hanya muncul dengan kutipan-kutipan ayat yang dijadikan pendukung dan pembenar dari perspektif tertentu yang menjadi dasar cerita sinetron. Sementara ayat-ayat lain yang bisa mementahkan perspektif itu cenderung disimpan dan dikesampingkan. Pun dengan acara-acara berbau mistik, para agamawan yang muncul di akhir cerita, bukan mengajak orang untuk kritis dan cerdas menghadapi persoalan hidup, tapi hanya menegaskan, tak lupa dengan kutipan ayat-ayat, bahwa dunia gaib dan setan itu memang ada. Kehadiran para agamawan karenanya tak lebih dari sekedar gincu saja, agar kesan dakwah tetap terasa. Jika agamawan hanya ikut-ikutan terjebak dalam selebritisasi dan komersialisasi agama di layar kaca, tugas untuk mencerahkan masyarakat pun akhirnya jadi terabaikan.

Negosiasi Makna

Perlu diakui bahwa realitas yang dibawa televisi memang bisa mempengaruhi penontonnya. Namun, efek atau pengaruh televisi itu punya dimensi yang luas dan berkaitan dengan fenomenologi menonton itu sendiri. Aktivitas mengkonsumsi media pada dasarnya bukan aktivitas yang sederhana, satu dimensi dan terisolasi dari konteks serta geografi menonton. Menonton televisi merupakan kegiatan memproduksi makna, proses untuk memahami dan menginterpretasikan citra-citra yang dilihat di layar kaca. Makna tidak inheren dalam sebuah tayangan, tapi harus dimunculkan oleh penonton itu sendiri. Untuk itu seorang penonton akan melibatkan memori, pengetahuan dan kerangka budaya yang melingkupinya.

Alfred Schutz (1966) menyebutnya sebagai stock of knowledge, yang diperoleh individu dalam kehidupan sehari-hari dan menyediakan referensi untuk menginterpretasikan obyek dan peristiwa yang ditemuinya. Setiap tayangan media memang menawarkan pemaknaan tertentu seperti yang diinginkan oleh si pembuat acara. Namun, dengan stock of knowledge yang dimilikinya, tanpa sadar penonton sebetulnya bernegosiasi untuk menerima makna dominan dan hegemonik yang ditawarkan oleh media, menolaknya sama sekali, atau mengkompromikan makna yang ditawarkan media dengan makna yang dibuatnya sendiri.

Milieu atau habitus individu penonton akan mempengaruhi proses negosiasi ini. Selain itu, rumah sebagai lokasi utama menonton televisi juga bisa membawa pemaknaan yang sangat berbeda antara satu individu dengan individu lain terhadap satu tayangan yang sama. Peran orang tua dalam menemani anak menonton televisi, dominasi ayah atau ibu terhadap remote televisi, atau suasana rumah pada saat menonton jelas akan membawa warna tersendiri pada proses pemaknaan sebuah tayangan. Jadi, penonton media pada dasarnya adalah individu-individu yang aktif dalam proses pemaknaan citra-citra media. Disinilah mestinya institusi keagamaan ikut ambil bagian untuk mendidik dan menguatkan karakter masyarakat, agar bisa mencerna dan memaknai realitas media dengan lebih cerdas. Membantu menguatkan mental masyarakat agar siap dan mampu bernegosiasi dengan makna-makna media jauh lebih strategis daripada menghindari dan mengajak mereka untuk mematikan televisi.

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Almaarif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar