Rabu, 06 Juli 2011

Rakyat Tak Perlu Kecewa

Leak Koestiya

Hari-hari ini seperti menjadi momen terbaik untuk menunjukkan bahwa kita sebagai rakyat dan bapak-bapak anggota DPR sebagai wakilnya adalah dua hal yang berbeda. Meski sulit diterima akal, itulah kenyataannya. Rakyat antre beras! Berdiri berjejer memanjang di siang yang panas untuk sekadar bisa membeli beberapa kilogram beras berkualitas kurang baik dengan harga murah.


Sementara itu, para wakil rakyat begitu sibuk mengurus rapel tunjangan komunikasi. Tunjangan yang bagi rakyat -terus terang- sulit dimengerti fungsinya. Lantas, apanya yang sulit diterima akal?

Salah satu di antaranya ya kenyataan antre beras itu. Pemandangan yang semestinya hanya layak kita jumpai dalam film-film dokumenter era 60-an tersebut seperti didaur ulang dan diputar kembali untuk kemudian dijadikan tontonan di berbagai tempat.

Kesuburan dan kekayaan negeri ini sesungguhnya tak perlu lagi diragukan. Rakyat juga rajin bermandi keringat dalam kerja keseharian. Yang mengherankan, mengapa mereka gagal mendapatkan jaminan rasa aman akan ketersediaan pangan yang cukup sebagai imbalan kerja kerasnya?

Pasti ada yang tak beres di sini. Tanah dan segala yang dikandung akan senantiasa memenuhi apa pun yang dibutuhkan penghuninya. Tapi, bumi beserta isinya ini sebenarnya tak sanggup memenuhi nafsu serakah dan perut seorang koruptor yang tak pernah kenyang.

Apakah menerima uang rapel yang sedang hit itu merupakan tindakan korupsi atau bukan, sekarang sedang diperdebatkan. Kata seorang pakar hukum tata negara, jelas itu korupsi! Kata wakil rakyat, jelas bukan korupsi, tapi halal-halal saja.

Menurut saya, bukan itu esensinya. Korupsi atau bukan, uang haram atau uang halal kadang-kadang hanyalah deskripsi. Deskripsi hanya soal keredaksian. Keredaksian hanya susunan kalimat dan kata-kata. Apa susahnya berjalan-jalan ke luar negeri diubah menjadi studi banding ke luar negeri, agar segepok uang bisa dibilang halal untuk dikantongi, lalu dipakai shopping atau apa saja.

Ini bukanlah soal kebiasaan di mana rakyat selalu ingin ditempatkan sebagai pihak yang melulu benar dan harus selalu dibela, tapi semata-mata sebuah kewajaran saja. Sudah begitu banyak tunjangan dan fasilitas dengan aneka istilah yang telah diterima para wakil rakyat. Persoalannya, mengapa para wakil rakyat yang kita hormati tersebut seperti tidak pernah merasa cukup dengan itu semua. Itu saja.

Berkumpul dan berserikat, misalnya, adalah hak semua orang. Termasuk, anggota Dewan Perwakilan Rakyat juga mempunyai hak itu. Rakyat tentu tak melarang para anggota dewan di kabupaten-kabupaten membentuk Adkasi dan para anggota DPRD kota di negeri ini bersatu membentuk Adeksi.

Yang perlu dicatat, perkumpulan-perkumpulan tersebut dibentuk tanpa izin rakyat. Sementara itu, demo untuk menolak revisi PP 37/2006 guna menuntut cairnya uang rapel oleh Adkasi dan Adeksi di Jakarta baru-baru ini sungguh murni untuk kepentingan perut pribadi para wakil rakyat, bukan untuk kepentingan rakyat yang memilihnya. Begitu banyak sebenarnya energi dan tenaga yang dikeluarkan para wakil rakyat kita, tapi demi kepentingan sendiri.

Para wakil rakyat tersebut juga menyebut aksinya kali ini sebagai sebuah perjuangan. Istilah yang lazim digunakan para pejuang kemerdekaan dan para buruh pabrik dalam menuntut UMR itu kini berubah menjadi sebuah paradoks yang keterlaluan.

Para wakil rakyat datang dari berbagai penjuru tanah air menggunakan pesawat, lalu menyewa kamar di berbagai hotel mewah di Jakarta sebagai tempat persiapan melaksanakan perjuangannya. Seorang teman wartawan mencoba menghitung secara kasar biaya untuk aksi perjuangan tersebut. Tak kurang dari Rp 8 miliar harus dikeluarkan untuk mengadakan demo yang bagi rakyat layak disebut "demo gombal" itu.

Kita hanya tidak paham, kok begitu gampang dan begitu banyak uang dihamburkan, sedangkan rakyat sedang diintip kelaparan.

Meski gombal, demo itu mungkin akan membuahkan hasil. Pengamat politik Laode Ida menilai, uang tunjangan berlimpah yang dinikmati anggota DPR merupakan ekspresi keserakahan memanfaatkan kedudukan. Mereka menyadari posisi sebagai anggota DPR yang lebih kuat dari eksekutif.

Karena itu, yang dibutuhkan para wakil rakyat pasti dipenuhi pemerintah. Kenyataan tersebut sungguh berbanding terbalik dengan yang menjadi kesulitan serta kebutuhan rakyat.

Tapi, tak apa-apa. Rakyat bukanlah tipe manusia yang gampang kesepian, meski terus-menerus dikibuli dan ditinggalkan. Hanya, rakyat juga harus segera sadar. Segera membebaskan diri dari harapan-harapan seolah-olah ada pihak yang peduli pada berbagai kesulitan.

Rakyat harus segera mengurus dan mengatasi persoalan hidup sendiri, tak perlu lagi merasa kecewa terhadap wakil yang dipilihnya. (leak@jawapos.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar