Rabu, 06 Juli 2011

Jangan Sebut Ini Musibah

Leak Koestiya

Ini adalah iklan agak lama yang dimuat di harian Wall Street Journal. Pemasangnya adalah maskapai tetangga dekat kita, Singapore Airline (SIA). Dalam iklan itu digambarkan, ada seorang gadis kecil sedang meniup lilin ulang tahun di atas kue tar. Lilin itu ada lima. Artinya, gadis imut tersebut sekarang telah berusia lima tahun. Kalau tak salah dalam iklan itu tertulis pesan, "Bagi Kami, Ini Adalah Ulang Tahun Terakhir."


Mengapa? Sebab, Singapore Airline tak akan merayakan ulang tahun pesawatnya yang berusia enam tahun ke atas. Lima tahun enam bulan adalah batas tertua untuk semua pesawatnya. Belum genap enam tahun , pesawat-pesawatnya akan berubah status menjadi pesawat second hand yang harus dilego kepada maskapai lain yang koceknya terlalu cekak untuk membeli pesawat baru.

Tentu, ada banyak alasan mengapa SIA hanya mau mengoperasikan pesawat baru. Salah satu alasannya adalah demi kenyamanan serta keamanan. Bagi SIA, kenyamanan memang sesuatu yang mahal. Keamanan tentu lebih mahal. Sebab, keamanan yang dimaksud SIA adalah nyawa para penumpang. Tapi, toh SIA tetap tak luput dari musibah.

Oh ya, musibah, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka, adalah peristiwa menyedihkan yang terjadi secara tiba-tiba. SIA harus mengalami kejadian amat sedih secara tiba-tiba. Pada 31 Oktober 2000, satu armadanya tersandung semacam peralatan konstruksi di pinggir jalur pacu di Bandara Chiang Kai-Shek, Taiwan. Bandara tersebut memang sedang diperbaiki saat itu.

Karena kelalaian pekerja bangunan, SIA harus berduka amat dalam, demikian juga dengan keluarga para korban. Musibah tersebut rasanya pas dengan yang didefinisikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kejadian menyedihkan terjadi begitu tiba-tiba. Oleh SIA, musibah tersebut tercatat sebagai satu-satunya musibah sejak maskapai itu menerbangkan pesawat pertamanya pada 1 Oktober 1972.

Kita begitu rutin mendapat musibah. Di bidang perkeretaapian, misalnya, kita mempunyai begitu banyak jenis musibah. Kereta anjlok dari rel, kereta bertabrakan, kereta menabrak rombongan pengantin di perlintasan, rangkaian gerbong lepas, gerbong ambrol karena atapnya dimuati sekian banyak penumpang. Malah belum lama ini. Serangkaian kereta melaju mundur dengan kecepatan tinggi dari Malang ke Surabaya karena dikemudikan orang gila.

Di penghujung tahun kemarin, ratusan nyawa melayang karena tak kurang dari enam kapal penyeberangan dari berbagai ukuran harus tenggelam ke dasar lautan Indonesia dalam tempo tiga hari. Rata-rata kita menuduh cuaca yang kurang bersahabat sebagai penyebab musibah. Tapi salah seorang penumpang kapal Senopati yang lolos dari maut setelah tiga hari terapung-apungdan sekujur tubuhnya gripis dimakan ikan, memberikan kesaksian yang berbeda. Senopati dimuati terlalu banyak penumpang dan dan alat berat. Lalu ketika ombak besar datang, kapal begitu gampang oleng dan tenggelam. Bahwa cuaca sedang buruk, iya. Tapi bahwa kapal Senopati tak punya cukup sekoci untuk penumpangnya, tak bisalah dibenarkan. Dan ketika kapal hendak menyelam kedasar laut ABK cuma bisa menghimbau agar semua penumpangnya berdoa saja.

Soal musibah dan kualitas pesawat udara, kita punya anekdot yang begitu mencemaskan. Suatu hari Fidel Castro dan seorang jenderalnya yang menjabat Kepala Staf Angkatan Darat berjaga-jaga di perbatasan Kuba. Ketika terlihat sebuah pesawat memasuki wilayahnya tanpa izin, sang Jenderal langsung diperintahkan Castro untuk menembak pesawat itu. Benar, sekali tembak pesawat jatuh. Oh, ternyata pesawat milik Amerika. Tak lama berselang datang lagi pesawat asing yang memasuki wilayah teritorial Kuba. Sang jenderal segera mengokang senjata hendak segera menembak. Tapi, "tunggu! Itu pesawat sepertinya milik Indonesia," kata Castro. "Terus kenapa kalau dari Indonesia nggak boleh ditembak?" tanya sang jenderal penasaran. "Nggak usah ditembak juga nanti jatuh sendiri..," kata Castro. Ohoi... blek kerupuk ditekuk-tekuk. Betapa murah harga nyawa penumpang pesawat di negeri kita.

Tentu kita masih ingat, musibah yang menimpa Lion Air yang nyungsep di tengah kuburan di Solo. Di Medan, Mandala Airline gagal take-off lalu jatuh menimpa pemukiman padat penduduk. Usut punya usut pesawat ini terlalu banyak membawa durian. Saya pernah mengalami kejadian ganjil. Dalam penerbangan dari Makssar ke Manado, rambut saya basah kuyup seperti habis keramas. Karena lobang AC persis di atas kepala saya meneteskan air sepanjang penerbangan.

Bagi koran, pesawat tergelincir sudah dianggap berita yang tak layak muat. Karena memang begitu seringnya pesawat meluncur ke luar landasan karena ban yang aus.

Sekarang, 96 nyawa penumpang Adam Air dengan nomor penerbangan KI 574 yang terbang dari Surabaya menuju Manado bagai lenyap ditelan bumi. Pesawat jatuh itu menyedihkan, tapi pesawat jatuh dan tak ketahuan rimbanya adalah kesedihan yang betul-betul menyedihkan. Masih kurang? Maka disiarkanlah kabar bohong bahwa bangkai pesawat telah ditemukan dan beberapa penumpangnya selamat. Betapa kita terus bertanbah sedih dan sedih.

Kalau kesedihan itu datang terus-menerus, sementara sinyal peringatan akan datangnya musibah yang ditandai AC bocor, lilin ulang tahun pesawat yang begitu banyaknya, roda pesawat yang telah aus tapi tak juga diganti, apakah kecelakaan demi kecelakaan ini layak didefinisikan sebagai kesedihan yang datang secara tiba-tiba?

Sepertinya kita harus menemukan istilah baru yang lebih cocok untuk kesedihan kita yang begitu bertumpuk-tumpuk dan datang sangat terencana ini. (leak@jawapos.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar