Rabu, 06 Juli 2011

Banjir Buatan Jakarta

Leak Koestiya

Setelah berbagai sudut negeri ini disiram aneka musibah, kini giliran kualitas ketabahan orang Jakarta mendapatkan ujian. Sungguh, tak ada yang menginginkan sebuah musibah, apa pun bentuknya, terjadi lagi di negeri ini.

Di samping sudah terlalu banyak bencana yang kita alami, frekuensinya juga terlalu sering. Petaka demi petaka menerpa secara estafet tanpa kita tahu kapan garis finisnya.

Habis sudah air mata kita untuk meratapi tragisnya musibah. Sekarang kita menjadi tidak gampang terharu, apalagi menangis karena melihat bencana.

Secara visual, banjir Jakarta kali ini memang mencengangkan mata. "Bener-bener gile," kata orang Jakarta. Stasiun busway berubah menjadi dermaga. Orang bahkan bisa berenang di bawah lampu merah di ujung Jalan M.H. Thamrin, jalan yang tiap hari begitu padat oleh mobil berbagai merek mulai pagi hingga malam.

Televisi sangat gegap-gempita merespons bencana Jakarta kali ini. Menyiarkan liputan banjir secara live dengan cara menunjukkan reporternya yang cantik dalam keadaan terendam air yang kecokelatan hampir setinggi leher.

Maksudnya, untuk mempertegas bahwa banjir kali ini memang banjir istimewa, lain dari banjir-banjir sebelumnya. Hotel-hotel panen raya. Mulai kelas melati hingga berbintang lima, semua kamar penuh oleh tamu domestik yang basah kuyup.

Pendek kata, lima hari Jakarta direndam banjir, hebohnya minta ampun. Ada yang menyumpah-nyumpah Sutiyoso, ada pula seorang ibu cengeng yang tanpa rasa sungkan mengeluh di layar televisi tentang anaknya yang terus-menerus menangis akibat beberapa hari tak bisa makan di McDonalds. Artis-artis menjadi setengah putus asa karena tak bisa ke lokasi syuting. Sebagian lainnya meratapi keterlambatan datangnya bantuan makanan.

Yang paling nyaring dan paling sering terdengar adalah suara-suara yang menuding bahwa kesusahan orang Jakarta kali ini akibat air kiriman dari Bogor. Ohoi... sejak kapan Bogor beralih fungsi menjadi semacam biro jasa ekspedisi? Memangnya Bogor kota yang kalau musim hujan kerjanya mengirim paket banjir ke Jakarta?.

Memang iya, aliran air datang dari Bogor. Sebab, secara geografis, Bogor memang lebih tinggi dan Jakarta lebih rendah. Tapi, ketahuilah orang Jakarta, yang menebang hutan resapan di daerah Bogor lalu menggantinya dengan vila-vila mewah adalah orang-orang kaya Jakarta. Yang membuat got-got di seluruh penjuru Jakarta pada mampet juga sampah orang Jakarta. Yang membuat Ciliwung dangkal juga orang Jakarta. Tapi, mengakui bahwa yang membuat Jakarta bisa berubah menjadi mangkuk sup raksasa seperti ini adalah akibat ulah penghuni ibu kota sendiri, memang seperti berat hati.

Sebagai magnet, Jakarta memang kelewat unik. Tak ada yang tidak dimiliki Jakarta. Uang, kemewahan, pejabat, selebriti, koruptor, konglomerat, penyanyi cantik, artis, para pendatang, semua seperti berkerumun di Jakarta. Termasuk, segala kengawurannya. Nah, kalau kita mau sedikit detail melihat, tak sulit untuk menyimpulkan bahwa kota ini diam-diam juga rajin menumpuk kecerobohan yang bakal memantik musibah banjir maupun musibah lain ketika saatnya tiba.

Guna mendapatkan hunian yang memiliki kelebihan bisa melihat laut, misalnya, diuruk dan ditinggikanlah pantai untuk kemudian didirikan apartemen di atasnya. Tak kuat beli tanah atau rumah? Gampang, bikin saja rumah di sepanjang bantaran sungai.

Menyaksikan orang Jakarta kebanjiran secara masal, sesungguhnya bukan hanya haru yang bisa kita rasakan, tapi juga geli. Melihat orang kaya menggigil kedinginan di atas atap rumahnya yang mewah sambil ditemani anjing kesayangannya, tentulah bukan sebuah pemandangan yang nuansanya semata-mata musibah. Ada semacam kandungan komedi dalam adegan seperti itu. Mengerikan, tapi lucu.

Setelah air surut dan kita menghitung-hitung, memang mahal ongkos yang harus dibayar bila segala sesuatu dilakukan tanpa berfikir tentang aspek keseimbangan lingkungan. Sekarang, pemerintah harus menganggarkan Rp 50 triliun hanya untuk membenahi saluran air serta memindah penduduk Jakarta yang tinggal di bantaran sungai ke tempat yang semestinya. Dan, pendatang baru terus membanjiri Jakarta.

Banjir Jakarta kali ini memang lain dari biasanya. Mencegah banjir kembali datang, pasti bukan hal gampang. Dibutuhkan kesungguhan dan kerja ekstra sambil tetap berpegang erat pada akal sehat. Menarik juga, ada yang beride: biar nggak kebanjiran lagi, ibu kota sebaiknya pindah ke Bogor saja. Pemikiran itu setidaknya menunjukkan bahwa orang Jakarta sesungguhnya memang tidak cukup tabah menghadapi banjir akibat ulahnya sendiri dan cenderung ingin enaknya saja. Maklum, orang kaya. Hehe... kasihaaan... deh orang kaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar