Kamis, 23 Juni 2011

Perasaan Tidak Bersalah

Oleh: Leak Koestiya

Setelah diterbangkan dari Manado ke Jakarta, Vonnie Anneke, bupati keren dari Minahasa Utara, kini harus duduk manis dengan segenap ketabahan sebagai seorang pesakitan. Menjalani persidangan pengadilan tindak pidana korupsi karena diduga merugikan negara Rp 4 miliar dalam kasus proyek pembangunan Bandara Kutai Kartanegara.

More

Mengenakan baju putih lengan panjang -kostum favorit para terdakwa-, mantan Nona Minahasa Utara itu menatap tajam jaksa yang mengancamnya dengan pidana 20 tahun penjara. Saat Vonnie menyandarkan tubuhnya di kursi pesakitan dan bibirnya berhadapan dengan mikrofon, saya teringat artis-artis cantik macam Wulan Guritno, Tamara, Sarah Azhari, maupun Pinkan Mambo saat menjalani sidang perceraian.

Bedanya, setelah palu vonis diketok, artis-artis cantik itu langsung meninggalkan suami lama dan segera berhambur menyambut pacar baru dan suami barunya. Sementara Vonnie, dadanya harus berdetak kencang karena menghadapi vonis yang bakal mengantarnya pada hukuman panjang di dalam penjara dengan segala duka derita.

Pada zaman kesetaraan, ternyata bukan hanya bapak-bapak pejabat yang berperut gendut dan berkulit kasar yang terbelit praktik korupsi. Tapi, bupati wanita berkulit putih, langsing, cantik layaknya pemain sinetron pun bisa kedapatan mendekam dalam tahanan dengan ancaman penjara hingga begitu lamanya.

Sejak gerakan otonomi menggelinding, sudah tak terhitung berapa banyak pejabat serta kepala daerah yang terperosok masuk bui gara-gara terlibat kasus-kasus korupsi. Tapi, terhadap Vonnie Anneke, sungguh saya sangat terdorong untuk tahu lebih jauh, ketimbang para koruptor lain semisal Syaukani, Widjanarko, Roesmanhadi, atau lainnya.

Mungkin karena saya adalah laki-laki. Dorongan ingin tahu lebih jauh itu umpamanya: bagaimana nanti ketika ibu Vonnie harus melewati malam-malam panjangnya yang dingin dalam penjara, sementara selimutnya hanya kain seadanya saja? Tanpa spring bed yang pegasnya lentur dan guling lembut berisi bulu angsa. Apakah dia akan menyalakan obat nyamuk bakar yang asapnya menyesakkan napas dalam selnya yang sempit untuk mengusir nyamuk-nyamuk nakal yang menggigit kuping, hidung, pipi, dan lengannya?

Ataukah memilih mengolesi sekujur kaki dan tangannya dengan obat nyamuk cair yang baunya harum, tapi panas di kulit? Apakah ibu bupati yang anggun itu tidak akan stres berat ketika sepanjang waktu yang dia hadapi cuma tembok dan kawat jeruji? Padahal, biasanya dia tinggal di rumah dinas yang luas yang ketika ingin meneguk teh manis, cukup teriak panggil pelayan.

Oh, ibu bupati apes yang terdampar di ruang tahanan... Apakah ibu tidak kangen di-creambath, dilulur, dan di-spa dengan aneka herbal serta wangi-wangian seperti biasanya di waktu senggangmu? Padahal, sebagai seorang bupati, kau ibarat raja kecil di daerah yang sudah pasti sangat terbiasa dengan fasilitas hidup serta pelayanan kelas premium.

"Saya bicara dalam nama Tuhan. Saya minta kepada presiden Republik Indonesia. Saya minta kepada ketua KPK. Saya menuntut kenapa saya dijadikan seperti ini. Padahal, saya merasa tidak bersalah," teriak Vonnie sekeluar dari gedung KPK akhir tahun lalu.

Vonnie atau siapa pun tentu layak resah dan gundah gulana. Jika ternyata pintu penjara tiba-tiba seperti muncul di depan mata. Setelah pendeta, teman-teman dekat, dan sanak saudara berkumpul untuk berdoa bersama, Vonnie memang merasa mendingan. Rasa gundah berkurang, tapi tidak sirna semuanya.

Kegundahan Vonnie adalah kegundahan generik ruang pengadilan. Apa salah saya? Mengapa mereka tega ngerjai saya? Hanya Tuhan yang tahu, saya cuma korban, dan seterusnya.

H Syaukani Hassan, mantan bupati Kutai Kertanegara yang kasusnya kini menyeret Vonnie Anneke, punya kegundahan yang sama. Sambil mendekam dalam penjara, Syaukani bersama tujuh narapidana lainnya yang dijebloskan KPK, mulai 22 hingga 26 mendatang mengadakan pameran lukisan bertajuk NarARTpidana: kreativitas dari balik jeruji besi, di Hotel Nikko, Jakarta.

Syaukani tak menampilkan lukisan, tapi puisi curahan hatinya yang dia tulis dalam bingkai besar. Simaklah penggalan bait puisinya yang berjudul Meniti Kodrat berikut ini:

...
Berlari menyusuri belantara mencari peri keadilan
Namun terhadang sang butakala kesewenangan
Sementara tikus-tikus mulus berlari kencang melenggang hingga ke awang-awang
Menghadapi ironi dengan pasrah, walau masih berbantah
Jalani selalu dengan senyum
walau berbalut kecut
...

Di Semarang, pernah ada seorang mantan pejabat yang ketika disidang di pengadilan tetap menolak perbuatannya dianggap salah, meski berbagai fakta disodorkan di hadapannya. Si terdakwa itu begitu teguh dengan perasaannya bahkan hingga ajal menjemput. Padahal, proses pengadilan belum rampung. Dia merasa, apa yang dia lakukan tidaklah salah-salah amat. Sebab, sebagian uang hasil korupsinya dia pakai untuk membangun tempat ibadah megah di dekat tempat tinggalnya.

Di negeri ini, bukan hanya rakyat yang sering dikelabui. Tuhan pun kadang berusaha disogok dengan uang hasil korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar