Kamis, 23 Juni 2011

Bapak Kita daripada Soeharto

Oleh: Leak Koestiya

Apakah Pak Harto harus diadili? Atau, sebaiknya kita ampuni saja? Tak usah kita perdebatkan sekarang. Tak penting, terlebih bagi Pak Harto sendiri. Bukankah ketika Pak Harto sedang sehat, bicaranya masih daripada lancar terkendali, masih bisa main golf, dan masih kuat berjalan sendiri ke kantor pengadilan, justru pengadilan kita yang memble seperti didera stroke parah?
MoreKalau sekarang, ketika Pak Harto sedang koma, para pakar dan praktisi hukum ramai-ramai berargumen tentang perlu tidaknya beliau diadili, tentu Pak Harto tak perlu menggubrisnya. Yang beliau butuhkan sekarang adalah kejelasan tentang kelanjutan status komanya. Apakah masa kritisnya akan segera berakhir dan segera kembali sehat seperti sedia kala? Yang jelas, jangan berisik... karena beliau sungguh lagi gerah sangat serius sekarang.

Ini adalah kemungkinan-kemungkinannya. Kalau Pak Harto berpulang, beliau cuma akan meninggalkan Cendana yang asri lalu pindah ke Astana Giri Bangun, kompleks makam khusus keluarga raja-raja Mangkunegaran, di Karanganyar, Solo. Di bawah cungkup Argo Sari yang atapnya menjulang tinggi, yang keempat tiangnya dilingkari cincin-cincin besar yang pernah diisukan terbuat dari emas, Eyang Kakung bakal dibaringkan di sisi istri tercintanya, Siti Hartinah. Sebuah tempat peristirahatan terakhir dengan hill view dan angin sepoi di tengah hari. Pintu gerbangnya tak kalah kukuh dibandingkan pintu masuk Istana Merdeka, juga lengkap dengan penjaganya.

Tapi, andai beliau jadi pergi untuk selamanya, wajah hukum dan peradilan kitalah yang bakal semangkin kelihatan memelas dan menunjukken tampang minder berkepanjangan. Sejarah akan mencatat: pengadilan negeri ini tak pernah berbicara sepatah kata pun di depan Pak Harto yang nilai korupsinya tak tertandingi. Suka mengekang dan membredel pers, hobi mengintimidasi, serta memenjarakan aktivis.

Kalau Pak Harto kembali sehat walafiat, percayalah. Para pakar dan praktisi hukum itu pasti akan reda omongnya, lalu berangsur-angsur diam dengan sendirinya. Mereka akan kembali seolah-olah bingung, sibuk menimbang dosa dan jasa Pak Harto, untuk sekadar menutupi bakat minder kita yang memang tak ketulungan itu. "Kita harus bisa menjadi bangsa yang bisa mikul dhuwur mendem jero," kata seorang mantan pejabat seusai besuk di RSPP.

Nah, kalau Pak Harto tetap seperti sekarang, kritis untuk jangka waktu lama, yang bakal semakin ramai memang perdebatannya tadi. Namun, lepas dari sisi baik-buruk, Pak Harto adalah seorang bapak yang memang kelewat besar. Begitu besarnya beliau hingga terlalu berat untuk dipikul dhuwur dan terlalu rendah untuk kita dudukkan sebagai terdakwa di kursi pesakitan. Karena kebesarannya pula, kita sebagai rakyat pun menjadi sangat gampang patuh dan tunduk hanya demi atas nama anak. Sebagai anak, pilihan kita hanya patuh atau taat. Nakal dan berani menolak perintah bakal terlalu besar risikonya.

Tiga puluh tahun lebih, selama masa kekuasaannya yang begitu represif, setiap saat kita persembahkan berbagai jenis kepatuhan di hadapannya. Kalau ada di antara kita yang berperilaku bandel, si bapak pun cukup berpura-pura batuk dan menyebut para bengal sebagai kaum mbalela. Aparat akan dengan sangat sigap menerjemahkan suasana hati sang bapak, lalu dengan cekatan bertindak: menangkap, memenjarakan, kalau perlu menghabisi.

Pak Harto kini membujur nyaris tanpa gerak, dikerumuni para dokter yang tampak kurang tidur dan kusut mukanya. Mata terpejam dengan selang oksigen menancap di hidungnya, tekanan darahnya gampang drop. Menurut tim dokter saat jumpa pers, napasnya pendek-pendek dan tak beraturan sehingga harus dibantu alat pacu jantung. Melihat orang tua yang lagi sakit, tiba-tiba kita menjadi sekumpulan anak-anak yang terserang sindrom trenyuh dan pemaaf. Bapak boleh penuh kesalahan, tapi anak harus bisa memaafkan.

Lalu di mana hukum berada? Hukum tentu berbeda dengan perasaan. Ia harus bicara di atas fakta, bukan perasaan. Negara yang hukumnya berjalan baik pasti akan memberi rasa aman dan memenuhi rasa keadilan rakyatnya. Permintaan Mbak Tutut agar rakyat Indonesia memaafkan Pak Harto bukanlah hal sulit untuk dituruti. Yang sulit adalah ketika harus memilah antara persoalan hukum dan persoalan perasaan. Memberi maaf tentu tidak berarti memberi ampunan atas semua kesalahan di mata hukum.

Celakanya, sebagai rakyat kita memang telanjur merasa cukup untuk bersikap seperti anak saja. Sementara itu, Pak Harto sungguh kelewat lama menjadi pemimpin dan kelebihan porsi sebagai bapak kita. Bahkan, dia sangat sukses mencitrakan diri sebagai bapak bangsa, bapak pembangunan, dan seterusnya yang tanpa cela. Hingga sebagai anak kita tak lagi merasa bahwa dari waktu-ke waktu yang kita punya sesungguhnya adalah pemimpin-pemimpin yang gagal menahan diri, mengabaikan perasaan, serta rakus terhadap hak-hak rakyatnya. Sebagai anak, betapa telah lama kita ini menjadi seperti yatim piatu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar